Pendahuluan
Hati (Liver) merupakan organ terbesar tubuh
manusia. Di dalam hati terjadi proses-proses penting bagi kehidupan, yaitu
proses penyimpanan energi, pembentukan protein dan asam empedu, pengaturan
metabolisme kolesterol, dan penetralan racun yang masuk dalam tubuh. Sehingga
timbulnya kerusakan hati akan mengganggu proses penting dalam kehidupan
tersebut (Sjamsuhidajat & Dejong, 2010).
Karsinoma hepatoseluler merupakan salah
satu kanker yang berbahaya dan mematikan. Karsinoma hepatoseluler dapat tumbuh
pada siapapun, bisa yang memiliki umur yang masih muda ataupun yang sudah tua. Karsinoma
hepatoseluler sangat sulit untuk diketahui jika masih dalam tahap yang sangat
awal. Sehingga jika seseorang terkena karsinoma hepatoseluler maka tidak akan
menyadarinya ( Depkes RI, 2015) .
Karsinoma hepatoseluler adalah kanker
penyebab kematian ketiga terbesar didunia. Jumlah kematian didunia disebabkan
oleh karsinoma hepatoseluler menunjukkan lebih dari lebih dari satu juta per
tahun . Sedangkan di Asia karsinoma hepatoseluler menempati posisi ke lima
sebagai kanker dengan insiden tertinggi (WHO, 2012).
Berdasarkan
data Riset Kesehatan Dasar (Rikerdas) tahun 2013 di Indonesia karsinoma
hepatoseluler merupakan kanker dengan angka kejadian terbesar kelima dengan
presentase 6% (setelah kanker payudara, kanker paru, kanker kolorektal, dan
kanker serviks) . Kematian akibat karsinoma hepatoseluler diproyeksikan akan
terus meningkat hingga tahun 2025 (Partkin, 2008).
Penyebab karsinoma hepatoseluler secara
umum adalah akibat infeksi virus hepatitis B dan C, sirosis hati, infeksi
parasit, alkohol serta paparan zat karsinogen seperti alfatoxin. Di taiwan
pengidap infeksi kronis HBV mempunyai resiko menderita karsinoma hepatoseluler
102 kali lebih tinggi sedangkan di Jepang dan Eropa resiko terjadinya karsinoma hepatoseluler
pada pengidap HCV adalah tujuh belas kali lipat di bandingkan dengan yang bukan
pengidap (Budihusodo, 2012).
Saat ini pengujian biokimia laboratorium
sangat membantu dalam penatalaksanaan karsinoma hepatoseluler salah satunya
adalah pemeriksaan Alfa feto protein atau
AFP. AFP merupakan protein serum normal yang disintesis oleh sel hati fetal.
AFP digunakan sebagai pertanda tumor untuk mendeteksi dan memantau adanya
penyakit karsinoma hepatoseluler. Kadar AFP akan meningkat pada 60% sampai 70% dari pasien karsinoma
hepatoseluler (Budihusodo, 2012).
Selain pemeriksaan AFP, diperlukan juga
pemeriksaan laboratorium penunjang untuk mengetahui fungsi hati yaitu
pemeriksaan SGOT dan SGPT. SGOT adalah enzim yang dikeluarkan ke sirkulasi
apabila terjadi kerusakan atau kematian sel, sedangkan SGPT adalah enzim yang
kadarnya sangat tinggi di hati dan pada jantung, otot dan ginjal kadarnya
relatif rendah. SGOT dan SGPT merupakan indikator yang representatif untuk
mendeteksi adanya kelainan dan kerusakan hati (Sumihardjo, Giantini, &
Yusra, 2012).
Untuk
menegakkan diagnosis keganasan hati perlu dilakukan pemeriksaan histopatologi
jaringan hati dengan cara melakukan biopsi hati. Pada beberapa penelitian
terbukti bahwa biopsi hati dapat menegakkan diagnosis hampir 90% pasien dengan
gangguan fungsi hati yang tidak jelas penyebabnya. Terdapat beberapa cara
biopsi namun yang yang menjadi pilihan adalah biopsi dengan menggunakkan jarum
halus . Kelebihan dari biopsi aspirasi dengan jarum halus adalah resiko
penyebaran (sedding) lebih kecil dan
juga relatif lebih aman dibanding biopsi dengan cara lain (Ikhwan, 2014).
Fine Needle
Aspiration Biopsy (FNAB) merupakan suatu teknik
diagnostik sitologi dengan cara mengambil sejumlah kecil bahan pemeriksaan dari
tubuh manusia. Teknik ini semakin banyak digunakan dan dapat dilakukan
pemeriksaan dengan menggunakkan jarum halus yang ditusukkan kedalam daerah lesi
dan sel kemudian diaspirasi tanpa memerlukan anestesi lokal. Jarum yang
digunakan adalah jarum dengan ukuran 25G dengan diameter 0,5 mm. Sel tumor yang
disedot dengan semprit lalu dioleskan di atas kaca pemeriksaan, difiksasi dan
dicat. Sediaan langsung dilihat dengan mikroskop untuk mengetahui sifat dari
tumor tersebut. Heriady (2009, dalam Ikhwan, 2014).
Tindakan FNAB ini mudah dikerjakan, waktunya cepat
hanya memerlukan beberapa detik, tidak nyeri relatif tanpa komplikasi dan biaya
yang relatif murah (Siswanta, 2012).
Kanker Hati
1. Pengertian
Kanker Hati
Kanker adalah pertumbuhan sel abnormal
yang cenderung menyerang jaringan disekitarnyadan menyebar ke organ tubuh lain
yang letaknya jauh. Kanker terjadi karena proliferasi sel tak terkontrol yang
terjadi tanpa batas dan tanpa tujuan bagi penjamu. Kanker muncul melalui
beberapa proses yang sama yang pada akhirnya bergantung pada perubahan genetik
secara krusial. (Elizabeth, 2009).
Kanker dapat dianggap sebagai penyakit dari
sel-sel tubuh yang berkembang secara abnormal. Pengembangannya melibatkan
kerusakan pada sel-sel DNA (Deoxyribonucleic
Acid), dan kerusakannya ini terakumulasi dari waktu ke waktu. Sel-sel ini
merusak dan melepaskan diri dari mekanisme yang berfungsi untuk melindungi dari
pertumbuhan dan penyebaran sel - sel tersebut, yaitu neoplasma. Klasifikasi
tumor didasarkan pada jaringannya, sifat pertumbuhan, dan invasi atau
penyebaran ke jaringan lain. Pertumbuhan neoplasma ganas biasanya merusak
jaringan sekitarnya dan dapat menyebar ke organ lainnya, proses ini dikenal
sebagai metastasis (Grant, 2008).
Hepatoma disebut
juga kankerhati merupakan pertumbuhan sel hati yang tidak normal yang di tandai
dengan bertambahnya jumlah sel dalam hati yang memilikikemampuan
membelah/mitosis disertai dengan perubahan sel hati yang menjadi ganas (Husodo,
2009).
Kanker hati banyak dihubungan dengan adanya
infeksi virus hepatitis B ataupun C, dan adanya chirosis hepatis oleh karena
beberapa sebab antar lain alkoholisme, bahan-bahan nitrites, hydrocarbon, polyclhorined biphenyls, Wilson desease,
hemochromatosis. Oleh karena itu di negara dengan insiden hepatitis B (HBV)
dan C (HCV) yang tinggi akan mempunyai insiden HCC yang cukup tinggi pula
(Budihusodo, 2012).
Berdasarkan pengamatan secara makroskopis kanker hati terdiri atas tiga
bentuk yaitu :
a. Noduler
multifokal merupakanjenis
yang paling sering didapat, bentuk ini menunjukkan gambaran dungkul yang banyak
tersebar di hati, berwarna keruh kekuningan, dan biasanya terdapat satu nodul
yang lebih besar dari yang lain.
b. Massif
unifokal juga merupakan
bentuk yang banyak didapat, berupa tumor yang mungkin berukuran besar dan
menempati salah satu lobus. Jenis ini kadang menyebabkan perdarahan spontan
dalam rongga perut karena pecahnya simpai tumor.
c. Difus
adalah bentuk yang jarang didapat dan sukar dibedakan dengan gambaran sirosis
makronoduler (Sjamsuhidajat & dejong, 2010).
2.
Karsinoma Hepatoseluler
Karsinoma
Hepatoseluler (KHS) merupakan tumor ganas hati primer yang paling sering
terjadi dan umunya menyertai sirosis hati. Tumor ini di perkirakan dari nodul
diplastik premaligna, kemudian mengalami diferensiasi menjadi tumor ganas dari
gradasi rendah sampai tinggi. Pertambahan tingkat gradasi dari nodul diplastik
disertai dengan bertambahnya kemampuan proliferasi vaskular dan suplai darah
dari cabang-cabang arteri hepatika. KHS terlihat sebagai lesi soliter pada 50%
kasus, multifokal pada 40%, dan difus pada 10% kasus (Widjaja, 2012).
KHS merupakan
tumor ganas yang paling sering dijumpai dan merupakan 80-90% tumor ganas
dihati. Pada anak-anak KHS adalah tumor ganas kedua setelah hepatoblastoma. Sirosis
hati merupakan faktor resiko terbesar terjadinya KHS pada 60-90% kasus
(Widjaja, 2012).
Secara
histologis, KHS memperlihatkan gambaran dari lesi berdiferensasi yang mirip hepatosit
yang tersusun dalam genjel atau sarang kecil. Hingga lesi yang berdiferensiasi buruk,
sering terdiri atas sel tumor raksasa besar berinti banyak. Pada varianlesi
yang berdiferensiasi baik, dapat ditemukan globules empedu di dalam sitoplasma sel
dan dalam pseudokanalikulus di antara sel. Pada sebagian besar KHS, stroma ternyata
sangat sedikit ;halini menjelaskan mengapa konsistensi tumor itu lunak (Robbin,
2007).
Faktor Resiko Karsinoma Hepatoseluler
1.
Virus hepatitis B (HBV)
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan
timbulnya HCC terbukti kuat, baik secara epidemiologi, klinis maupun
eksperimental. Sebagian besar yang wilayah hiperendemik HBV menunjukkan angka
kekerapan HCC yang tinggi. Di taiwan pengidap kronis infeksi HBV mempunyai
resiko untuk terjadinya HCC 102 kali lebih tinggi daripada resiko bagi yang
bukan pengidap. Juga ditenggarai bahwa kekerapan HCC yang berkaitan dengan HBV
pada anak jelas menurun setelah diterapkan vaksinasi HBV universal bagi anak.
Umur saat terjadi infeksi merupakan faktor resiko penting karena infeksi HBV
pada usia dini berakibat terjadinya persistensi (Budihusodo, 2012).
2.
Virus Hepatitis C
Di
wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan faktor resiko penting
dari HCC. Prevalensi HCV pada kasus HCC di Cina dan Afrika Selatan sekitar 30%
sedangkan di Eropa selatan dan Jepang 70%-80% Meta-analisis dari 32 penelitian
kasus kelola menyimpulkan bahwa resiko terjadinya HCC pada pengidap infeksi HCV
adalah 17 kali lipat dibandingkan dengan resiko pada yang bukan pengidap
(Budihusodo, 2012).
3.
Sirosis Hati
Sirosis
hati (SH) merupakan faktor resiko utama HCC di dunia dan berperan melatarbelakangi
lebih dari 80% kasus HCC. Setiap tahun 3-5% dari pasien SH akan menderita HCC
dan HCC merupakan penyebab utama kematian pada SH. Otopsi pada pasien SH
mendapatkan 20-80% diantaranya telah menderita HCC. Pada 60-80% dari SH
makronodular dan 3-10% mikronodular dapat ditemukan adanya HCC. Prediktor utama
pada HCC pada SH adalah jenis kelamin laki-laki, peningkatan kadar AFP serum,
beratnya penyakit dan tingginya aktivitas proliferasi sel hati (Budihusodo,
2012).
Hepatokarsinogenesis
pada pasien dengan sirosis diawali dengan perkembangan nodul diplastik (DN).
Nodul yang berhubungan dengan sirosis hati secara histologist dibagi menjadi2
kategori, yaitu nodul displastik (DNs), dan karsinoma hepatoseluler.DNs adalah
nodul diplastik dari hepatosit yang memiliki diameter minimal 1 mm dengan
dysplasia namun kriteria histologisnya tanpa tanda-tanda keganasan. Dibagi
menjadi 2 subtipe, yaitu Low-grade Dysplastic Nodules (LGDN) yang
merupakan sebuah nodul dengan atipia ringan, dan High-grade Displastic
Nodule (HGDN) yang merupakan sebuah nodul dengan atipia sedang namun tidak
Cukup untuk mendiagnosis adanya suatu keganasan.
Transforming growth factor-α (TGF-α) danInsulin-like growth factor 2 (IGF-2)
adalah salah satu mediator yang mempercepat proliferasi hepatosit selama fase ini
(Kudo. 2009)
Di
sisi lain, karsinoma hepatoseluler didefinisikan sebagai neoplasma ganas
terdiri dari sel-sel dengan diferensiasi hepatoseluler. Selama periode lanjutan
selama 2 tahun, sekitar sepertiga dari HGDN akan berubah menjadi karsinoma
hepatoseluler, dan pada 5 tahun risiko karsinoma hepatoseluler meningkat
menjadi 81% (Kudo, 2009)
4.
Alfatoksin
Alfatoksin B1 (AFB1)
merupakan mikrotoksin yang diproduksi oleh jamur Aspergillus. Percobaan
binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen. Beberapa penelitian dengan
menggunakkan biomarker di Mozambik, Afrika Selatan, Swaziland, Cina, dan Taiwan
menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antar pajanan alfatoksin dalam diet dengan
morbilitas dan mortalitas HCC. Risiko relatif HCC dengan alfatoksin saja adalah
3,4. Dengan infeksi HBV kronik resiko relatifnya 7 dan meningkat menjadi 59
bila disertai dengan kebiasaan mengkonsumsi alfatoksin (Budihusodo, 2012).
5.
Obesitas
Suatu penelitian kohort
perspektif pada lebih dari 900.000 individu di Amerika Serikat dengan masa
pengamatan selama 16 tahun mendapatkan terjadinya peningkatan angka mortalitas
sebesar 5 kali akibat karsinoma hepatoseluler pada kelompok individu dengan
berat tertinggi (IMT 35-40) dibandingkan
dengan kelompok individu yang IMTnya normal (Budihusodo, 2012).
6.
Alkohol
Meskipun
alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat alkohol
(>50-70g/hari dan berlangsung lama) berisiko menderita HCC melalui sirosis
hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik langsung dari alkohol.
Alkoholisme juga meningkatkan risiko terjadinya sirosis hati dan HCC pada
pengidap infeksi HBV atau HCV. Sebaliknya, pada sirosis alkoholik terjadinya
HCC juga meningkat bermakna pada pasien dengan
HbsAg-positif atau anti-HCV posiitif. Ini menunjukkan adanya peran
sinergistik alkohol terhadap infeksi HBV maupun infeksi HCV, seringkali
penyalahgunaan alkohol merupakan prediktor bebas untuk terjadinya HCC pada
pasien dengan hepatitis kronik atau sirosis akibat infeksi HBV atau HCV. Efek
hepatotoksik alkohol bersifatdose-dependent sehingga asupan sedikit alkohol
tidak meningkatkan resiko terjadinya HCC (Budihusodo, 2012).
Gejala Karsinoma Hepatoseluler
Pada fase subklinis belum ditemukan
gejala yang jelas pada penderita, berikut gejala yang ditemukan pada fase
klinis yaitu :
1. Nyeri abdomen kanan atas : Penderita
karsinoma hepatoseluler stadium lanjut sering datang berobat karena tidak
nyaman dengan nyeri di abdomen kanan atas. Nyeri umumnya bersifat tumpul atau
menusuk, intermitten atau kontinu, sebagian area hati terasa terbebat kencang
karena pertumbuhan tumor yang cepat.
2.
Massa abdomen atas : Pemeriksaan fisik
menemukan splenomegali karsinoma hepatoseluler lobus kanan dapat menyebabkan
batas atas hati bergeser ke atas, pemeriksaan fisik menemukan hepatomegali di
bawah arcus costae tapi tanpa nodul. Perut kembung timbul karena massa tumor
sangat besar dan gangguan fungsi hati.
3.
Anoreksia : timbul karena fungsi hati
terganggu, tumor mendesak saluran gastrointestinal.
4.
Letih, mengurus : dapat disebabkan
metabolit dari tumor ganas dan berkurangnya masukan makanan.
5.
Demam : timbul karena nekrosis tumor,
disertai infeksi dan metabolit tumor, umumnya tidak disertai menggigil.
6.
Icterus : tampil sebagai kuningnya
sklera dan kulit, biasanya sudah stadium lanjut, juga karena sumbat kanker di
saluran empedu atau tumor mendesak saluran hingga timbul icterus.
7.
Ascites juga merupakan stadium lanjut,
secara klinis ditemukan perut membuncit
sering disertai odeme di kedua tungkai.
8.
Lainnya : selain itu terdapat kecenderungan
perdarahan, diare, nyeri bahu belakang, kulit gatal dan lainnya, manifestasi
sirosis hati sepertisplenomegali,
venodilatasi dinding abdomen. Pada stadium akhir sering timbul metastase
paru, tulang, dan organ lain ( Desen, 2008).
Pemeriksaan
Karsinoma hepatoseluler
1. Pemeriksaan
Laboratorium
a.
AFP
Alfa
–fetoprotein (AFP) adalah protein serum normal yang disintesis oleh hati fetal,
sel yolk-sac, dan sedikit sekali oleh
saluran gastrointestinal fetal. Rentang normal AFP serum adal 0-20 ng/mL. Kadar
AFP meningkat pada 60% sampai 70% dari pasien HCC dan kadar lebih dari 400
ng/mL adalah diagnosis HCC atau sangat sugestif untuk HCC (Budihusodo, 2012).
b.
SGOT dan SGPT
AST adalah enzim yang terdapat didalam
sel jantung, hati, otot skeletal, ginjal, otak, pankreas, limpa dan paru. Enzim
ini akan dikeluarkan ke sirkulasi apabila terjadi kerusakan atau kematian sel.
Kerusakan sel akan diikuti dengan peningkatan kadar AST dalam duabelas jam dan
tetap meningkat selama lima hari (Sumihardjo, Giantini & Yusra, 2012).
ALT adalah suatu enzim yang terdapat
pada jaringan hati, jantung, otot dan ginjal. Kadar tinggi terdapat pada
jaringan hati sedangkan di jantung, otot dan ginjal, enzim ini terdapat dalam
kadar yang relatif rendah. Untuk penyakit hati ALT lebih spesifik dari pada AST
(Sumihardjo, Giantini &Yusra, 2012).
2.
Pemeriksaan Pencitraan
a.
Pemeriksaan
Pemindaian dengan isotop radioaktif
Sebuah camera
khusus mendeteksi isotop radioaktif yang disuntikkan ke dalam aliran darah atau
ditelan. Dokter radiologi mengevaluasi distribusi isotop tersebut pada semua
jaringan, organ, dan sistem organ. Tipe pemindaian ini akan memberi gambar
organ dan bagian dalam organ yang tidak bisa dilihat dengan pemeriksaan sinar X
biasa. Daerah uptake dinamakan hot spot
atau cold spot (daerah dengan penurunan uptake). Secara khas tumor akan
terlihat sebagai coldspot (Kowalak, Welsh & Mayer, 2011).
b.
Pemeriksaan
Ultrasonografi (USG)
Untuk meminimalkan kesalahan hasil
pemeriksaan AFP, pasien dianjurkan menjalani pemeriksaan USG. Untuk Tumor kecil
pada pasien dengan resiko tinggi USG lebih sensitif daripada AFP serum
berulang. Sensitivitas USG untuk neoplasma hati berkisar anatara 70% sampai
80%. HCC dengan diameter kurang dari 2 cm mempunyai gambaran bentuk cincin yang
khas (Budihusodo, 2012).
Ultrasonografi atau pemeriksaan USG
menggunakkan gelombang bunyi dengan frekuensi tinggi untuk mendeteksi perubahan
densitas jaringan yang sulit atau tidak mungkin dinilai dengan pemeriksaan
radiologi atau endoskopi. USG akan membantu membedakan kista dengan tumor yang
padat dan umunya digunakan untuk memberikan informasi tentang kanker abdomen
serta pelvis (Kowalak, Welsh & Mayer, 2011)
c.
CT Scanning
Pemeriksaan
CT merupakan salah satu pemeriksaan yang sering dilakukan. Pemeriksaan
CT scan mengevaluasi lapisan jaringan secara berurutan menggunakkan sinar-X
pancaran tipis untuk menghasilkan gambar penampang (potongan melintang)
struktur yang diperiksa. Pemeriksaan ini juga dapat mengungkapkan karakteristik
jaringan yang berbeda didalam organ yang padat (Kowalak, Welsh & Mayer,
2011).
d. PemeriksaanMagnetic
Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan alat diagnosis imaging yang bersifat non-radiasi yang
aman. Cara ini digunakan untuk kontrol atau pemeriksaan berulang-ulang, tetapi
saat MRI belum merupakan standar pencitraan hati karena perkembangan MRI masih
terus berlangsung untuk imaging (
Widjaja, 2012).
MRI menggunakkan medan magnet dan
frekuensi radio untuk memperlihatkan gambar potongan melintang organ serta
struktur tubuh. Seperti halnya CT scan, pemeriksaan MRI sering dilakukan
(Kowalak, Welsh & Mayer, 2011).
3. BiopsiHati
Biopsi merupakan satu-satunya metode
pasti untuk mendiagnosis penyakit kanker. Tindakan biopsi hati memiliki risiko
sangat rendah, terutam bila dialkukan oleh seorang yang cukup berpengalaman.
Namun dapat saja terjadi komplikasi berat yang mengancam jiwa. Oleh karena itu
biopsi hanya dilakukan jika manfaatnya lebih besar daripada risiko (Hasan,
2012).
DAFTAR PUSTAKA
Ariyanti, N. (2013). Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Sirsak
(Aninona Muricata L) Terhadap Kadar SGPT dan SGOT Pada Mencit (Mus musculus)
Asri, M.CB.
(2013). Profil Penderita Karsinoma Hepatoseluler
di Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik Medan Pada Tahun 2009-2012.Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Medan. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40475/5/Chapter%20I.pdf.
Di akses tanggal
21 February 2016.
Budihusodo, U. Widjaja, P.M. Makes, D., Sosrosumiharjo, R. Giantini, A.
Yusra, dkk.(2012).
Buku Ajar IlmuPenyakitHati .Jakarta :
CV. SagungSeto.
Center For
Desease Control and Prevention. (2010). Hepatocelluler Carcinoma In United States 2001-2006. Morbidity and Mortality
Weekly Report
Depkes. (2015).
Situasi Penyakit Kanker Pusat Data dan Informasi Kesehatan RI. Buletin Jendela
Data & Informasi Kesehatan. http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-kanker.pdf. Diakses
tanggal 20 Februari 2016.
Dessen, W.
(2008). Tumor Abdomen Dalam Buku Ajar
Onkologi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Elizabet, J.C
. (2009). BukuSakuPatofisiologi.Jakarta
: EGC
Ernawati, P. (2010). Karkteristik Penderita Kanker Hati
Rawat Inap Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2005-2009. Skipsi
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35056/6/Abstract.pdf. Di akses tanggal 25 Februari 2016.
Fine Needle
Aspiration Cytology and Biopsy In Hepatic Masses : A Minimally
Invasive-Diagnostic-Approach http://www.ccij.online.org/article.asp?issn=22780513;year=2013;volume=2;issue=2;spage=132;epage=142;aulast=Nasit. Di akses
tanggal 03 Januari 2016.
Gao, J, dkk.
(2012). Risk Faktor Hepatocelluler
Carcinoma Curent Status and Perpectives. Asian Pasific Journal of Cancer
Prevention
Grant B. (2008). Medical
Nutrition Therapy for Cancer Prevention, Treatmentand Recovery. Di dalam:
Mahan LK, Stump SE editor. Krause’s Food,Nutrition dan Diet Therapy. USA:
Saunders Elsevier.
Hidayat, H.
(2007). Perbedaan Profil Klinik Karsinoma
Hepatoseluler yang Terinfeksi Virus Hepatitis B dengan Virus Hepatitis C.
Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Ikhwan,
M. (2014). “Gambaran Profil Pasien FNAB Tumor di Laboratorium Patologi Anatomi
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2011-2013”. Karya Tulis Ilmiah
Poltekkes Kaltim.
Junquiera,
LC& Jose,C
. (2007). Histologi Dasar. Jakarta : EGC
Kowalak,
JP,.
Welsh, W.&
Mayer,B
.(2011).Buku Ajar Patofisiologi.
Jakarta : EGC
Mescher, LA. (2011). Histologi
Dasar Junquiera. Jakarta : EGC.
Misnadiarly.
(2007). Mengenal, Mencegah dan Mengobati
Penyakit (Liver). Jakarta : Pustaka Obor Populer
Notoatmodjo, Soekidjo. (2012). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Oemanti, R.,
Rahajeng, E., & Kristanto, A. Y. (2011). Prevalensi dan Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi di Indonesia. Balai
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Okita, K.
(2006). Management of Hepatoseluler
Carcinoma In Japan. J Gastroenterol
Panil, Z.
(2007). Memahami Teori dan Praktikum
Dasar. Jakarta : EGC
Partkin, dkk.
(2008). Global cancer statistics, CA Cancer. USA : J Clin
Pearce E.C.
(2015). Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Rachim, A.
(2014). Profil Pasien Karsinoma Hepatoseluler yang Menjalani FNAB Berdasarkan Usia,
JenisKelamin, Riwayat Hepatitis B, Stadium Kanker dan AFP di
Laboratorium PatologiAnatomi
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Periode
2011-2013. Skripsi Mahasiswa Kedokteran Universitas Mulawarman.
http://fk.unmul.ac.id/?p=pdf&id=14. Di akses tanggal17 Januari 2016.
Rasyid, A.
(2006). Pentingnya Peranan Radiologi dalam Deteksi Dini dan Pengobatan Kanker
Hati Primer. Medan : Universitas Sumatera Utara
Robbins, K.,
Cotran . (2008). Buku Saku Dasar
Patologis Penyakit. Jakarta : EGC
Robin & Kumar.
(2014). Efek Dari Kitosan Sebagai Terapi Terhadap Penyakit Hepatoseluler Karsinoma Skripsi Mahasiswa Kedokteran Universitas Sriwijaya.
http://eprint.unsri.ac.id/3257/2/ISI.pdf. Diaksestanggal
30 Januari 2016.
Salama, T.,&
suroso, A. (2006). Hubungan Kadar Alfa
Fetoprotein serum dan Gambran USG pada Karsinoma Hepatoseluler. Semarang :
fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Sepsatya, F.
(2011). Spektrum Klinis Koinfeksi Human Imunnodefiienci Virus (HIV) dengan
Hepatitis B Virus (HBV) dan Hepatitis C Virus (HCV) di RSUD Dr. Kariadi
Semarang. Semarang : Universitas Diponegoro
Simamora, C. T.
(2013). Hubungan Komplikasi, Skor Child-Turcotte, dan Usia Lanjut Sebagai
Faktor Resiko Kematian Pada Pasien Sirosis Hati di RSUD Dr. Soedarso Pontianak
Tahun 2008-2012. Pontianak : Universitas Tanjung Pura
Siswanta, A.
(2012). Tingkat Sensitivitas dan Spesifitas Fine Needle Aspiration Biopsy
(FNAB) dalamenegakkan Diagnosis Pasien Dengan Perbesaran Kelenjar Tiroid di
RSUD Arifin Ahmad. http://unriakademia.edu/andikasiswanta/papers/1610719/PUBLIKASI_LENGKAP. Di akses
tanggal 25 Januari 2016
Sjamjuhidajat & Dejong.
(2010). Buku Ajar IlmuBedahSjamsuhidasat,
&Dejong, Jakarta : EGC.
Snell, R.S. (2011). Anatomi
Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta : EGC.
Tambunan,G.W. (2008).
Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis
Kanker Terbanyak di Indonesia. Jakarta : EGC
Weiss, dkk.
(2013). Enzinger & Weiss’s Soft Tissue Tumors. London : Mosby Year Book.
WHO. (2012).
Distribusi Kejadian Kankerdan Stadium Merokok di Indonesi (Analisis Data
Rikerdas Tahun 2013). Skripsi Mahasiswa Kedokteran Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28894/1/DENOK%20ARISKA%20LESTARI-FKIK.pdf. Di
aksestanggal 20 Februari 2016
Wibawa
, M.T
. (2010). Panduan Penatalaksana Kanker
Solid Peraboi 2010. Jakarta : CV. SagungSeto.
Wibowo,
D.S.,& Paryana W. (2009). Anatomi
Tubuh Manusia. Yogyakarta : Graha Ilmu
Yantie, V. K.,
Ariawati, K., & Sanjaya. L. (2011). Karsinoma
Hepatoseluler Pada Anak Usia 11 Tahun. Bali : Sari Pediatri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar