Sabtu, 24 Februari 2018

KARSINOMA HEPATOSELULER (KANKER HATI)


Pendahuluan
Hati (Liver) merupakan organ terbesar tubuh manusia. Di dalam hati terjadi proses-proses penting bagi kehidupan, yaitu proses penyimpanan energi, pembentukan protein dan asam empedu, pengaturan metabolisme kolesterol, dan penetralan racun yang masuk dalam tubuh. Sehingga timbulnya kerusakan hati akan mengganggu proses penting dalam kehidupan tersebut (Sjamsuhidajat & Dejong, 2010).
      Karsinoma hepatoseluler merupakan salah satu kanker yang berbahaya dan mematikan. Karsinoma hepatoseluler dapat tumbuh pada siapapun, bisa yang memiliki umur yang masih muda ataupun yang sudah tua. Karsinoma hepatoseluler sangat sulit untuk diketahui jika masih dalam tahap yang sangat awal. Sehingga jika seseorang terkena karsinoma hepatoseluler maka tidak akan menyadarinya ( Depkes RI, 2015) .
      Karsinoma hepatoseluler adalah kanker penyebab kematian ketiga terbesar didunia. Jumlah kematian didunia disebabkan oleh karsinoma hepatoseluler menunjukkan lebih dari lebih dari satu juta per tahun . Sedangkan di Asia karsinoma hepatoseluler menempati posisi ke lima sebagai kanker dengan insiden tertinggi (WHO, 2012).
       Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Rikerdas) tahun 2013 di Indonesia karsinoma hepatoseluler merupakan kanker dengan angka kejadian terbesar kelima dengan presentase 6% (setelah kanker payudara, kanker paru, kanker kolorektal, dan kanker serviks) . Kematian akibat karsinoma hepatoseluler diproyeksikan akan terus meningkat hingga tahun 2025 (Partkin, 2008).
Penyebab karsinoma hepatoseluler secara umum adalah akibat infeksi virus hepatitis B dan C, sirosis hati, infeksi parasit, alkohol serta paparan zat karsinogen seperti alfatoxin. Di taiwan pengidap infeksi kronis HBV mempunyai resiko menderita karsinoma hepatoseluler 102 kali lebih tinggi sedangkan di Jepang dan Eropa  resiko terjadinya karsinoma hepatoseluler pada pengidap HCV adalah tujuh belas kali lipat di bandingkan dengan yang bukan pengidap (Budihusodo, 2012).
      Saat ini pengujian biokimia laboratorium sangat membantu dalam penatalaksanaan karsinoma hepatoseluler salah satunya adalah pemeriksaan Alfa feto protein atau AFP. AFP merupakan protein serum normal yang disintesis oleh sel hati fetal. AFP digunakan sebagai pertanda tumor untuk mendeteksi dan memantau adanya penyakit karsinoma hepatoseluler. Kadar AFP akan meningkat pada 60%  sampai 70% dari pasien karsinoma hepatoseluler (Budihusodo, 2012).
Selain pemeriksaan AFP, diperlukan juga pemeriksaan laboratorium penunjang untuk mengetahui fungsi hati yaitu pemeriksaan SGOT dan SGPT. SGOT adalah enzim yang dikeluarkan ke sirkulasi apabila terjadi kerusakan atau kematian sel, sedangkan SGPT adalah enzim yang kadarnya sangat tinggi di hati dan pada jantung, otot dan ginjal kadarnya relatif rendah. SGOT dan SGPT merupakan indikator yang representatif untuk mendeteksi adanya kelainan dan kerusakan hati (Sumihardjo, Giantini, & Yusra, 2012).
       Untuk menegakkan diagnosis keganasan hati perlu dilakukan pemeriksaan histopatologi jaringan hati dengan cara melakukan biopsi hati. Pada beberapa penelitian terbukti bahwa biopsi hati dapat menegakkan diagnosis hampir 90% pasien dengan gangguan fungsi hati yang tidak jelas penyebabnya. Terdapat beberapa cara biopsi namun yang yang menjadi pilihan adalah biopsi dengan menggunakkan jarum halus . Kelebihan dari biopsi aspirasi dengan jarum halus adalah resiko penyebaran (sedding) lebih kecil dan juga relatif lebih aman dibanding biopsi dengan cara lain (Ikhwan, 2014).
Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) merupakan suatu teknik diagnostik sitologi dengan cara mengambil sejumlah kecil bahan pemeriksaan dari tubuh manusia. Teknik ini semakin banyak digunakan dan dapat dilakukan pemeriksaan dengan menggunakkan jarum halus yang ditusukkan kedalam daerah lesi dan sel kemudian diaspirasi tanpa memerlukan anestesi lokal. Jarum yang digunakan adalah jarum dengan ukuran 25G dengan diameter 0,5 mm. Sel tumor yang disedot dengan semprit lalu dioleskan di atas kaca pemeriksaan, difiksasi dan dicat. Sediaan langsung dilihat dengan mikroskop untuk mengetahui sifat dari tumor tersebut. Heriady (2009, dalam Ikhwan, 2014).
Tindakan FNAB ini mudah dikerjakan, waktunya cepat hanya memerlukan beberapa detik, tidak nyeri relatif tanpa komplikasi dan biaya yang relatif murah (Siswanta, 2012).

Kanker Hati
1.    Pengertian Kanker Hati
      Kanker adalah pertumbuhan sel abnormal yang cenderung menyerang jaringan disekitarnyadan menyebar ke organ tubuh lain yang letaknya jauh. Kanker terjadi karena proliferasi sel tak terkontrol yang terjadi tanpa batas dan tanpa tujuan bagi penjamu. Kanker muncul melalui beberapa proses yang sama yang pada akhirnya bergantung pada perubahan genetik secara krusial.  (Elizabeth, 2009).
     Kanker dapat dianggap sebagai penyakit dari sel-sel tubuh yang berkembang secara abnormal. Pengembangannya melibatkan kerusakan pada sel-sel DNA (Deoxyribonucleic Acid), dan kerusakannya ini terakumulasi dari waktu ke waktu. Sel-sel ini merusak dan melepaskan diri dari mekanisme yang berfungsi untuk melindungi dari pertumbuhan dan penyebaran sel - sel tersebut, yaitu neoplasma. Klasifikasi tumor didasarkan pada jaringannya, sifat pertumbuhan, dan invasi atau penyebaran ke jaringan lain. Pertumbuhan neoplasma ganas biasanya merusak jaringan sekitarnya dan dapat menyebar ke organ lainnya, proses ini dikenal sebagai metastasis (Grant, 2008).
Hepatoma disebut juga kankerhati merupakan pertumbuhan sel hati yang tidak normal yang di tandai dengan bertambahnya jumlah sel dalam hati yang memilikikemampuan membelah/mitosis disertai dengan perubahan sel hati yang menjadi ganas (Husodo, 2009).
       Kanker hati banyak dihubungan dengan adanya infeksi virus hepatitis B ataupun C, dan adanya chirosis hepatis  oleh karena beberapa sebab antar lain alkoholisme, bahan-bahan nitrites, hydrocarbon, polyclhorined biphenyls, Wilson desease, hemochromatosis. Oleh karena itu di negara dengan insiden hepatitis B (HBV) dan C (HCV) yang tinggi akan mempunyai insiden HCC yang cukup tinggi pula (Budihusodo, 2012).
          Berdasarkan pengamatan secara makroskopis kanker hati terdiri atas tiga bentuk yaitu :
a.    Noduler multifokal merupakanjenis yang paling sering didapat, bentuk ini menunjukkan gambaran dungkul yang banyak tersebar di hati, berwarna keruh kekuningan, dan biasanya terdapat satu nodul yang lebih besar dari yang lain.
b.    Massif unifokal juga merupakan bentuk yang banyak didapat, berupa tumor yang mungkin berukuran besar dan menempati salah satu lobus. Jenis ini kadang menyebabkan perdarahan spontan dalam rongga perut karena pecahnya simpai tumor.
c.       Difus adalah bentuk yang jarang didapat dan sukar dibedakan dengan gambaran sirosis makronoduler (Sjamsuhidajat & dejong, 2010).

2.      Karsinoma Hepatoseluler
      Karsinoma Hepatoseluler (KHS) merupakan tumor ganas hati primer yang paling sering terjadi dan umunya menyertai sirosis hati. Tumor ini di perkirakan dari nodul diplastik premaligna, kemudian mengalami diferensiasi menjadi tumor ganas dari gradasi rendah sampai tinggi. Pertambahan tingkat gradasi dari nodul diplastik disertai dengan bertambahnya kemampuan proliferasi vaskular dan suplai darah dari cabang-cabang arteri hepatika. KHS terlihat sebagai lesi soliter pada 50% kasus, multifokal pada 40%, dan difus pada 10% kasus (Widjaja, 2012).
      KHS merupakan tumor ganas yang paling sering dijumpai dan merupakan 80-90% tumor ganas dihati. Pada anak-anak KHS adalah tumor ganas kedua setelah hepatoblastoma. Sirosis hati merupakan faktor resiko terbesar terjadinya KHS pada 60-90% kasus (Widjaja, 2012).
     Secara histologis, KHS memperlihatkan gambaran dari lesi berdiferensasi yang mirip hepatosit yang tersusun dalam genjel atau sarang kecil. Hingga lesi yang berdiferensiasi buruk, sering terdiri atas sel tumor raksasa besar berinti banyak. Pada varianlesi yang berdiferensiasi baik, dapat ditemukan globules empedu di dalam sitoplasma sel dan dalam pseudokanalikulus di antara sel. Pada sebagian besar KHS, stroma ternyata sangat sedikit ;halini menjelaskan mengapa konsistensi tumor itu lunak (Robbin, 2007).

  Faktor Resiko Karsinoma Hepatoseluler
1.    Virus hepatitis B (HBV)
      Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya HCC terbukti kuat, baik secara epidemiologi, klinis maupun eksperimental. Sebagian besar yang wilayah hiperendemik HBV menunjukkan angka kekerapan HCC yang tinggi. Di taiwan pengidap kronis infeksi HBV mempunyai resiko untuk terjadinya HCC 102 kali lebih tinggi daripada resiko bagi yang bukan pengidap. Juga ditenggarai bahwa kekerapan HCC yang berkaitan dengan HBV pada anak jelas menurun setelah diterapkan vaksinasi HBV universal bagi anak. Umur saat terjadi infeksi merupakan faktor resiko penting karena infeksi HBV pada usia dini berakibat terjadinya persistensi (Budihusodo, 2012).
2.    Virus Hepatitis C
      Di wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan faktor resiko penting dari HCC. Prevalensi HCV pada kasus HCC di Cina dan Afrika Selatan sekitar 30% sedangkan di Eropa selatan dan Jepang 70%-80% Meta-analisis dari 32 penelitian kasus kelola menyimpulkan bahwa resiko terjadinya HCC pada pengidap infeksi HCV adalah 17 kali lipat dibandingkan dengan resiko pada yang bukan pengidap (Budihusodo, 2012).
3.    Sirosis Hati
Sirosis hati (SH) merupakan faktor resiko utama HCC di dunia dan berperan melatarbelakangi lebih dari 80% kasus HCC. Setiap tahun 3-5% dari pasien SH akan menderita HCC dan HCC merupakan penyebab utama kematian pada SH. Otopsi pada pasien SH mendapatkan 20-80% diantaranya telah menderita HCC. Pada 60-80% dari SH makronodular dan 3-10% mikronodular dapat ditemukan adanya HCC. Prediktor utama pada HCC pada SH adalah jenis kelamin laki-laki, peningkatan kadar AFP serum, beratnya penyakit dan tingginya aktivitas proliferasi sel hati (Budihusodo, 2012).
Hepatokarsinogenesis pada pasien dengan sirosis diawali dengan perkembangan nodul diplastik (DN). Nodul yang berhubungan dengan sirosis hati secara histologist dibagi menjadi2 kategori, yaitu nodul displastik (DNs), dan karsinoma hepatoseluler.DNs adalah nodul diplastik dari hepatosit yang memiliki diameter minimal 1 mm dengan dysplasia namun kriteria histologisnya tanpa tanda-tanda keganasan. Dibagi menjadi 2 subtipe, yaitu Low-grade Dysplastic Nodules (LGDN) yang merupakan sebuah nodul dengan atipia ringan, dan High-grade Displastic Nodule (HGDN) yang merupakan sebuah nodul dengan atipia sedang namun tidak
Cukup untuk mendiagnosis adanya suatu keganasan. Transforming growth factor-α (TGF-α) danInsulin-like growth factor 2 (IGF-2) adalah salah satu mediator yang mempercepat proliferasi hepatosit selama fase ini (Kudo. 2009)
Di sisi lain, karsinoma hepatoseluler didefinisikan sebagai neoplasma ganas terdiri dari sel-sel dengan diferensiasi hepatoseluler. Selama periode lanjutan selama 2 tahun, sekitar sepertiga dari HGDN akan berubah menjadi karsinoma hepatoseluler, dan pada 5 tahun risiko karsinoma hepatoseluler meningkat menjadi 81% (Kudo, 2009)
4.    Alfatoksin
Alfatoksin B1 (AFB1) merupakan mikrotoksin yang diproduksi oleh jamur Aspergillus. Percobaan binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen. Beberapa penelitian dengan menggunakkan biomarker di Mozambik, Afrika Selatan, Swaziland, Cina, dan Taiwan menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antar pajanan alfatoksin dalam diet dengan morbilitas dan mortalitas HCC. Risiko relatif HCC dengan alfatoksin saja adalah 3,4. Dengan infeksi HBV kronik resiko relatifnya 7 dan meningkat menjadi 59 bila disertai dengan kebiasaan mengkonsumsi alfatoksin (Budihusodo, 2012).
5.    Obesitas
Suatu penelitian kohort perspektif pada lebih dari 900.000 individu di Amerika Serikat dengan masa pengamatan selama 16 tahun mendapatkan terjadinya peningkatan angka mortalitas sebesar 5 kali akibat karsinoma hepatoseluler pada kelompok individu dengan berat tertinggi  (IMT 35-40) dibandingkan dengan kelompok individu yang IMTnya normal (Budihusodo, 2012).
6.    Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat alkohol (>50-70g/hari dan berlangsung lama) berisiko menderita HCC melalui sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan risiko terjadinya sirosis hati dan HCC pada pengidap infeksi HBV atau HCV. Sebaliknya, pada sirosis alkoholik terjadinya HCC juga meningkat bermakna pada pasien dengan  HbsAg-positif atau anti-HCV posiitif. Ini menunjukkan adanya peran sinergistik alkohol terhadap infeksi HBV maupun infeksi HCV, seringkali penyalahgunaan alkohol merupakan prediktor bebas untuk terjadinya HCC pada pasien dengan hepatitis kronik atau sirosis akibat infeksi HBV atau HCV. Efek hepatotoksik alkohol bersifatdose-dependent sehingga asupan sedikit alkohol tidak meningkatkan resiko terjadinya HCC (Budihusodo, 2012).

Gejala Karsinoma Hepatoseluler
Pada fase subklinis belum ditemukan gejala yang jelas pada penderita, berikut gejala yang ditemukan pada fase klinis yaitu :
1. Nyeri abdomen kanan atas : Penderita karsinoma hepatoseluler stadium lanjut sering datang berobat karena tidak nyaman dengan nyeri di abdomen kanan atas. Nyeri umumnya bersifat tumpul atau menusuk, intermitten atau kontinu, sebagian area hati terasa terbebat kencang karena pertumbuhan tumor yang cepat.
2.   Massa abdomen atas : Pemeriksaan fisik menemukan splenomegali karsinoma hepatoseluler lobus kanan dapat menyebabkan batas atas hati bergeser ke atas, pemeriksaan fisik menemukan hepatomegali di bawah arcus costae tapi tanpa nodul. Perut kembung timbul karena massa tumor sangat besar dan gangguan fungsi hati.
3.   Anoreksia : timbul karena fungsi hati terganggu, tumor mendesak saluran gastrointestinal.
4.   Letih, mengurus : dapat disebabkan metabolit dari tumor ganas dan berkurangnya masukan makanan.
5.   Demam : timbul karena nekrosis tumor, disertai infeksi dan metabolit tumor, umumnya tidak disertai menggigil.
6.   Icterus : tampil sebagai kuningnya sklera dan kulit, biasanya sudah stadium lanjut, juga karena sumbat kanker di saluran empedu atau tumor mendesak saluran hingga timbul icterus.
7.   Ascites juga merupakan stadium lanjut, secara klinis ditemukan perut  membuncit sering disertai odeme di kedua tungkai.
8.    Lainnya : selain itu terdapat kecenderungan perdarahan, diare, nyeri bahu belakang, kulit gatal dan lainnya, manifestasi sirosis hati sepertisplenomegali,  venodilatasi dinding abdomen. Pada stadium akhir sering timbul metastase paru, tulang, dan organ lain ( Desen, 2008).
Pemeriksaan Karsinoma hepatoseluler
1.    Pemeriksaan Laboratorium
a.    AFP
Alfa –fetoprotein (AFP) adalah protein serum normal yang disintesis oleh hati fetal, sel yolk-sac, dan sedikit sekali oleh saluran gastrointestinal fetal. Rentang normal AFP serum adal 0-20 ng/mL. Kadar AFP meningkat pada 60% sampai 70% dari pasien HCC dan kadar lebih dari 400 ng/mL adalah diagnosis HCC atau sangat sugestif untuk HCC (Budihusodo, 2012).
b.    SGOT dan SGPT
      AST adalah enzim yang terdapat didalam sel jantung, hati, otot skeletal, ginjal, otak, pankreas, limpa dan paru. Enzim ini akan dikeluarkan ke sirkulasi apabila terjadi kerusakan atau kematian sel. Kerusakan sel akan diikuti dengan peningkatan kadar AST dalam duabelas jam dan tetap meningkat selama lima hari (Sumihardjo, Giantini  & Yusra, 2012).
          ALT adalah suatu enzim yang terdapat pada jaringan hati, jantung, otot dan ginjal. Kadar tinggi terdapat pada jaringan hati sedangkan di jantung, otot dan ginjal, enzim ini terdapat dalam kadar yang relatif rendah. Untuk penyakit hati ALT lebih spesifik dari pada AST (Sumihardjo, Giantini &Yusra, 2012).
2.    Pemeriksaan Pencitraan
a.    Pemeriksaan Pemindaian dengan isotop radioaktif
Sebuah camera khusus mendeteksi isotop radioaktif yang disuntikkan ke dalam aliran darah atau ditelan. Dokter radiologi mengevaluasi distribusi isotop tersebut pada semua jaringan, organ, dan sistem organ. Tipe pemindaian ini akan memberi gambar organ dan bagian dalam organ yang tidak bisa dilihat dengan pemeriksaan sinar X biasa.  Daerah uptake dinamakan hot spot atau cold spot (daerah dengan penurunan uptake). Secara khas tumor akan terlihat sebagai coldspot (Kowalak, Welsh & Mayer, 2011).
b.    Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan AFP, pasien dianjurkan menjalani pemeriksaan USG. Untuk Tumor kecil pada pasien dengan resiko tinggi USG lebih sensitif daripada AFP serum berulang. Sensitivitas USG untuk neoplasma hati berkisar anatara 70% sampai 80%. HCC dengan diameter kurang dari 2 cm mempunyai gambaran bentuk cincin yang khas (Budihusodo, 2012).
Ultrasonografi atau pemeriksaan USG menggunakkan gelombang bunyi dengan frekuensi tinggi untuk mendeteksi perubahan densitas jaringan yang sulit atau tidak mungkin dinilai dengan pemeriksaan radiologi atau endoskopi. USG akan membantu membedakan kista dengan tumor yang padat dan umunya digunakan untuk memberikan informasi tentang kanker abdomen serta pelvis (Kowalak, Welsh & Mayer, 2011)
c.    CT Scanning
Pemeriksaan CT merupakan salah satu pemeriksaan yang sering dilakukan. Pemeriksaan CT scan mengevaluasi lapisan jaringan secara berurutan menggunakkan sinar-X pancaran tipis untuk menghasilkan gambar penampang (potongan melintang) struktur yang diperiksa. Pemeriksaan ini juga dapat mengungkapkan karakteristik jaringan yang berbeda didalam organ yang padat (Kowalak, Welsh & Mayer, 2011).
d.   PemeriksaanMagnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan alat diagnosis imaging yang bersifat non-radiasi yang aman. Cara ini digunakan untuk kontrol atau pemeriksaan berulang-ulang, tetapi saat MRI belum merupakan standar pencitraan hati karena perkembangan MRI masih terus berlangsung untuk imaging ( Widjaja, 2012).
      MRI menggunakkan medan magnet dan frekuensi radio untuk memperlihatkan gambar potongan melintang organ serta struktur tubuh. Seperti halnya CT scan, pemeriksaan MRI sering dilakukan (Kowalak, Welsh & Mayer, 2011).
3.    BiopsiHati
      Biopsi merupakan satu-satunya metode pasti untuk mendiagnosis penyakit kanker. Tindakan biopsi hati memiliki risiko sangat rendah, terutam bila dialkukan oleh seorang yang cukup berpengalaman. Namun dapat saja terjadi komplikasi berat yang mengancam jiwa. Oleh karena itu biopsi hanya dilakukan jika manfaatnya lebih besar daripada risiko (Hasan, 2012).

DAFTAR PUSTAKA


Ariyanti, N. (2013). Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Aninona Muricata L) Terhadap Kadar SGPT dan SGOT Pada Mencit (Mus musculus)
Asri, M.CB. (2013). Profil Penderita Karsinoma Hepatoseluler di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Pada Tahun 2009-2012.Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40475/5/Chapter%20I.pdf. Di akses tanggal 21 February 2016.
Budihusodo, U. Widjaja, P.M. Makes, D., Sosrosumiharjo, R. Giantini, A. Yusra, dkk.(2012). Buku Ajar IlmuPenyakitHati .Jakarta : CV. SagungSeto.
Center For Desease Control and Prevention. (2010). Hepatocelluler Carcinoma In United States 2001-2006. Morbidity and Mortality Weekly Report
Depkes. (2015). Situasi Penyakit Kanker Pusat Data dan Informasi Kesehatan RI. Buletin Jendela Data & Informasi Kesehatan. http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-kanker.pdf. Diakses tanggal 20 Februari 2016.
Dessen, W. (2008). Tumor Abdomen Dalam Buku Ajar Onkologi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Elizabet, J.C . (2009). BukuSakuPatofisiologi.Jakarta : EGC
Ernawati, P. (2010). Karkteristik Penderita Kanker Hati Rawat Inap Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2005-2009. Skipsi Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35056/6/Abstract.pdf. Di akses tanggal 25 Februari 2016.
Fine Needle Aspiration Cytology and Biopsy In Hepatic Masses : A Minimally Invasive-Diagnostic-Approach http://www.ccij.online.org/article.asp?issn=22780513;year=2013;volume=2;issue=2;spage=132;epage=142;aulast=Nasit. Di akses tanggal 03 Januari 2016.
Gao, J, dkk. (2012). Risk Faktor Hepatocelluler Carcinoma Curent Status and Perpectives. Asian Pasific Journal of Cancer Prevention
Grant B. (2008). Medical Nutrition Therapy for Cancer Prevention, Treatmentand Recovery. Di dalam: Mahan LK, Stump SE editor. Krause’s Food,Nutrition dan Diet Therapy. USA: Saunders Elsevier.
Hidayat, H. (2007). Perbedaan Profil Klinik Karsinoma Hepatoseluler yang Terinfeksi Virus Hepatitis B dengan Virus Hepatitis C. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Ikhwan, M. (2014). “Gambaran Profil Pasien FNAB Tumor di Laboratorium Patologi Anatomi RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2011-2013”. Karya Tulis Ilmiah Poltekkes Kaltim.
Junquiera, LC& Jose,C . (2007). Histologi Dasar. Jakarta : EGC
Kowalak, JP,. Welsh, W.& Mayer,B .(2011).Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
Mescher, LA. (2011). Histologi Dasar Junquiera. Jakarta : EGC.
Misnadiarly. (2007). Mengenal, Mencegah dan Mengobati Penyakit (Liver). Jakarta : Pustaka Obor Populer
Notoatmodjo, Soekidjo. (2012). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Oemanti, R., Rahajeng, E., & Kristanto, A. Y. (2011). Prevalensi dan Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi di Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Okita, K. (2006). Management of Hepatoseluler Carcinoma In Japan. J Gastroenterol
Panil, Z. (2007). Memahami Teori dan Praktikum Dasar. Jakarta : EGC
Partkin, dkk. (2008). Global cancer statistics, CA Cancer. USA : J Clin
Pearce E.C. (2015). Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Rachim, A. (2014). Profil Pasien Karsinoma Hepatoseluler  yang Menjalani FNAB Berdasarkan Usia, JenisKelamin, Riwayat Hepatitis B, Stadium Kanker dan AFP di Laboratorium PatologiAnatomi RSUD Abdul Wahab Sjahranie Periode 2011-2013. Skripsi Mahasiswa Kedokteran Universitas Mulawarman. http://fk.unmul.ac.id/?p=pdf&id=14. Di akses tanggal17 Januari 2016.
Rasyid, A. (2006). Pentingnya Peranan Radiologi dalam Deteksi Dini dan Pengobatan Kanker Hati Primer. Medan : Universitas Sumatera Utara
Robbins, K., Cotran . (2008). Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta : EGC
Robin & Kumar. (2014). Efek Dari Kitosan Sebagai Terapi Terhadap Penyakit Hepatoseluler Karsinoma  Skripsi Mahasiswa Kedokteran Universitas Sriwijaya. http://eprint.unsri.ac.id/3257/2/ISI.pdf. Diaksestanggal 30 Januari 2016.
Salama, T.,& suroso, A. (2006). Hubungan Kadar Alfa Fetoprotein serum dan Gambran USG pada Karsinoma Hepatoseluler. Semarang : fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Sepsatya, F. (2011). Spektrum Klinis Koinfeksi Human Imunnodefiienci Virus (HIV) dengan Hepatitis B Virus (HBV) dan Hepatitis C Virus (HCV) di RSUD Dr. Kariadi Semarang. Semarang : Universitas Diponegoro
Simamora, C. T. (2013). Hubungan Komplikasi, Skor Child-Turcotte, dan Usia Lanjut Sebagai Faktor Resiko Kematian Pada Pasien Sirosis Hati di RSUD Dr. Soedarso Pontianak Tahun 2008-2012. Pontianak : Universitas Tanjung Pura
Siswanta, A. (2012). Tingkat Sensitivitas dan Spesifitas Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) dalamenegakkan Diagnosis Pasien Dengan Perbesaran Kelenjar Tiroid di RSUD Arifin Ahmad. http://unriakademia.edu/andikasiswanta/papers/1610719/PUBLIKASI_LENGKAP. Di akses tanggal 25 Januari 2016
Sjamjuhidajat & Dejong. (2010). Buku Ajar IlmuBedahSjamsuhidasat, &Dejong, Jakarta : EGC.
Snell, R.S. (2011). Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta : EGC.
Tambunan,G.W. (2008). Diagnosis dan Tatalaksana  Sepuluh Jenis Kanker Terbanyak di Indonesia. Jakarta : EGC
Weiss, dkk. (2013). Enzinger & Weiss’s Soft Tissue Tumors. London : Mosby Year Book.
WHO. (2012). Distribusi Kejadian Kankerdan Stadium Merokok di Indonesi (Analisis Data Rikerdas Tahun 2013). Skripsi Mahasiswa Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah  Jakarta. http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28894/1/DENOK%20ARISKA%20LESTARI-FKIK.pdf. Di aksestanggal 20 Februari 2016
Wibawa , M.T . (2010). Panduan Penatalaksana Kanker Solid Peraboi 2010. Jakarta : CV. SagungSeto.
Wibowo, D.S.,& Paryana W. (2009). Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta : Graha Ilmu
Yantie, V. K., Ariawati, K., & Sanjaya. L. (2011). Karsinoma Hepatoseluler Pada Anak Usia 11 Tahun. Bali : Sari Pediatri 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar